“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, ‘Salam.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam.’ Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang telah dipanggang.” (QS: HUD:69)
Pada suatu hari yang cerah, Nabi Ibrahim as. duduk di luar rumahnya seorang diri. Dia sedang memikirkan anaknya Ismail as. yang ditinggal di Mekkah bersama ibunya, Hajar. Kerinduan Ibrahim terhadap anak pertamanya ini begitu mendalam. Ingin rasanya menemui Ismail yang berjuang hidup nun jauh di negeri seberang yang gersang.
Selang beberapa lama kemudian, tiga orang malaikat (Jibril, Israffil dan Mikail) yang merubah wujud menjadi tiga orang pemuda tampan datang menghampirinya. Maksud kedatangan mereka adalah untuk menyampaikan kabar gembira kelahiran Ishak dari rahim Sarah yang disusul kemudian dengan kelahiran Ya’kub. Konon usia Ibrahim waktu itu 120 tahun sedangkan Sarah 99 tahun. Tapi karena para malaikat itu menyamar menjadi manusia, Nabi Ibrahim menganggap mereka sebagai orang asing dari kuar kota.
Nabi Ibrahim mempersilahkan mereka duduk, lalu ia menemui istrinya. “Apakah ada makanan yang dapat dihidangkan?” Tanya Ibrahim. “Ada. Separuh daging sapi.” “Hanya separuh? Kalau begitu sembelihlah satu anak sapi yang gemuk. Mereka adalah tamu-tamu istimewa. Mereka tidak memiliki hewan tunggangan ataupun makanan. Mungkin mereka lapar.”
Daging itu lalu dipanggang, bukan dimasak, agar lebih cepat matang dan dapat segera dihidangkan.
Beberapa mufassir seperti al-Biqa'i dan asy-Sya’rawi mengagumi teknik memanggang daging yang dipraktekkan oleh Nabi Ibrahim kala itu. Menurut al-Biqa’i, daging itu dipanggang dengan cara yang canggih dan sehat. Setelah diiris daging dalam ukuran tertentu, lukis Biqa’i dan daging muda ini diletakkan diatas batu yang berada diatas tungku api. Setelah itu daging itu ditindih dengan batu panas lainnya, sehingga lemak daging yang mengandung kolesterol bercucuran kebawah selama proses pemanggangan.
Ahli tafsir lainnya, asy-Sya’rawi, secara lebih rinci memaparkan tiga cara memanggang yang lazim dikenal manusia yaitu diatas api, diatas bara arang, atau diatas batu yang sangat halus yang dibakar dengan pai. Dua cara cara perama berpotensi mengurangi kualitas rasa dan kebersihan daging karena unsur-unsur yang terdapat pada besi dan arang dapat menempel pada daging. Sedangkan cara terakhir adalah cara memanggang terbaik. Apalagi bila diatas daging diletakkan batu panas lainnya, maka lemak yang terkandung di dalamnya akan terkikis habis.
Ahli tafsir lainnya, asy-Sya’rawi, secara lebih rinci memaparkan tiga cara memanggang yang lazim dikenal manusia yaitu diatas api, diatas bara arang, atau diatas batu yang sangat halus yang dibakar dengan pai. Dua cara cara perama berpotensi mengurangi kualitas rasa dan kebersihan daging karena unsur-unsur yang terdapat pada besi dan arang dapat menempel pada daging. Sedangkan cara terakhir adalah cara memanggang terbaik. Apalagi bila diatas daging diletakkan batu panas lainnya, maka lemak yang terkandung di dalamnya akan terkikis habis.
Teman-teman sudah pernah mencoba?
0 komentar:
Posting Komentar